Peta akses jalan tembus yang ditutup dari kawasan Kelurahan Kapuk Muara ke perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1, di Jakarta, 19 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Perbesar

Peta akses jalan tembus yang ditutup dari kawasan Kelurahan Kapuk Muara ke perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1, di Jakarta, 19 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Warga Kapuk Muara bernapas lega setelah pengembang Pantai Indah Kapuk 1 membuka akses jalan.

  • Penutupan jalan selama 10 tahun terakhir melanggar Undang-Undang Pokok Agraria.

  • Pemerintah baru bergerak setelah bentrokan antara warga dan petugas keamanan perusahaan pengembang terjadi.

WARGA Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, berharap jalan tembusan dari permukiman mereka ke wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 segera terealisasi. Polemik penutupan akses jalan itu diwarnai bentrokan antara warga dan petugas keamanan PT Mandara Permai, pengelola salah satu kluster perumahan di kawasan PIK 1, pada Jumat, 14 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Afrianto Manahar, salah satu warga, menyatakan jalan tersebut akan sangat mempermudah akses warga menuju kawasan PIK 1 dan sekitarnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online itu mengaku harus memutar cukup jauh saat menerima order dari PIK 1. “Sejak 2015, kami menyuarakan agar ada jalan langsung, tidak perlu memutar jauh,” katanya kepada Tempo, Senin, 24 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Harapan serupa disampaikan Mahyudin. Pria 42 tahun ini mengaku harus menempuh jarak 11 kilometer dari rumah menuju tempat kerjanya di Muara Angke. Bila pembangunan jalan tembusan via Perumahan Mandara Permai rampung, ia hanya menempuh jarak 6 kilometer. “Semoga segera selesai dan bukan cuma janji, lalu menguap seperti yang sudah-sudah,” ujarnya saat ditemui secara terpisah.

Bentrokan terjadi ketika warga menggelar demonstrasi di depan kantor PT Mandara Permai. Mereka meminta perusahaan pengembang tersebut membuka pagar di dekat Long Beach PIK atau dikenal dengan Jalan ROW 47. Muhfid, warga yang ikut dalam demonstrasi itu, mengaku mengalami luka di bagian kepala akibat dipentung petugas keamanan. Delapan warga lain pun mengalami luka.

Empat hari setelah bentrokan, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi datang ke sana. Muhfid, yang menemui rombongan Maruarar, menjelaskan duduk perkara perselisihan warga dengan Mandara Permai.

Muhfid mengatakan warga mendesak pengembang membuka beberapa meter pagar yang membentengi perumahan elite itu agar mereka punya akses jalan tembusan dari Kapuk Muara menuju PIK 1. Selama ini, bila hendak ke PIK 1, warga mesti memutar sejauh 8 kilometer. Begitu pula kalau hendak menuju Pluit dan Muara Angke yang berbatasan langsung dengan teluk Jakarta. “Kalau ada jalan tembusan, jaraknya lebih dekat. Akses warga akan mudah,” ucapnya.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (tengah) memediasi warga Kelurahan Kapuk Muara dengan PT Mandara Permai dan PT Lumbung Kencana Sakti di kantor Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta, 19 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Selain untuk menuju PIK, pembangunan jalan itu demi kenyamanan dan keselamatan warga. Warga Kapuk Muara selama ini tak punya jalan alternatif selain jalan utama yang sudah ada. Sebagian besar jalan di Kapuk Muara saat ini kondisinya rusak. Sebab, jalan tersebut dilalui truk peti kemas yang keluar-masuk daerah itu saban hari. Kapuk Muara merupakan salah satu sentra kawasan pergudangan di Jakarta Utara.

Dalam pertemuan itu juga terungkap bahwa pemerintah Jakarta sebenarnya berencana membangun jalan tembusan dari Kapuk Muara menuju PIK 1 sejak 2015. Rencana itu tertunda karena pengembang telanjur membangun pagar pemisah setinggi 2 meter. Pagar itu terbentang sepanjang lebih-kurang 7 kilometer mengelilingi Perumahan Mandara Indah. Selain dipagari, permukiman elite itu dipisahkan parit selebar 3 meter.

Awalnya Mandara Permai membantah tudingan bahwa perusahaan menutup akses warga. Direktur utama perusahaan yang termasuk Grup Pembangunan Jaya tersebut, Sugiarso Tanzil, melalui keterangan tertulis menyatakan warga tetap bisa menuju PIK 1 tanpa harus merobohkan pagar yang telah ada.

Lagi pula, kata Sugiarso, Jalan ROW 47 bukanlah jalan umum. Jalan tersebut, dia melanjutkan, dibangun untuk kepentingan PT Lumbung Kencana Sakti yang sedang membangun perumahan baru yang bersebelahan dengan Perumahan Mandara Indah. “Kami tidak bisa memenuhi permintaan warga untuk membuka pagar keliling di dekat Long Beach PIK atau Jalan ROW 47. Soalnya, jalan tersebut bukan untuk kepentingan warga, melainkan PT Lumbung Kencana Sakti,” katanya.

Keputusan Mandara Permai berubah setelah pertemuan dengan warga dan jajaran menteri itu. Mereka sepakat membuka pagar pembatas beberapa meter untuk akses jalan warga. Teguh Setyabudi pun langsung memerintahkan Sekretaris Daerah Jakarta memperbarui surat keputusan gubernur tentang pembangunan jalan di Kapuk Muara. “Kami akan menyampaikan agar pembangunan jalan ini dilanjutkan gubernur baru,” ujarnya.

Dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Ananda Prima Yurista, menyebut pembongkaran pagar itu sebagai langkah yang tepat. Dia mengungkapkan, pengembang kawasan perumahan tidak boleh membatasi akses jalan umum dan saluran air serta menghambat aktivitas warga.

Larangan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. “Tidak ada alasan pembenaran bagi pengembang menghambat pembangunan jalan umum meski telah mendapat perizinan,” ucapnya saat dihubungi, Senin, 24 Februari 2025.

Mengacu pada Pasal 43 peraturan tersebut, terdapat sejumlah larangan bagi pemegang sertifikat hak guna bangunan (HGB) di suatu kawasan, antara lain menutup pekarangan atau bidang tanah lain, lalu lintas umum, akses publik, dan saluran air. Pemegang HGB juga dilarang merusak sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup.

Selain PP Nomor 18 Tahun 2021, aturan yang melarang pembatasan akses masyarakat dalam sebuah tanah adalah Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 6 UU Pokok Agraria menyatakan setiap hak atas tanas memiliki fungsi sosial. Penjelasan pasal tersebut menegaskan bahwa hak atas tanah tak boleh digunakan hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi jika penggunaan tanah itu merugikan masyarakat.

Menurut Yurista, pemerintah bisa membatalkan HGB bila pemiliknya melanggar ketentuan tersebut. “Kalau HGB-nya dibatalkan, artinya tanah tersebut kembali kepada negara,” tuturnya.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi (ketiga dari kiri), didampingi Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Marullah Matali, meninjau akses jalan tembusan yang ditutup dari kawasan Kelurahan Kapuk Muara ke perumahan Pantai Indah Kapuk 1, di Jakarta, 19 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Dosen teknik planologi Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan pengembang tidak punya alasan menolak terhubungnya jalan di kawasan privat dengan jalan umum yang dibangun pemerintah untuk kepentingan publik.

Dalam kasus pemagaran di PIK 1, kata Yayat, kerugian terbesar justru dialami warga ketika akses mereka terhambat. “Kepentingan publik lebih besar di sini. Karena itu, pemerintah harus menjamin pemenuhan hak warga terhadap akses yang baik,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Selain itu, Yayat mengungkapkan, terbukanya akses menuju kawasan privat akan mengurangi dampak buruk segregasi spasial. Sebab, ia melanjutkan, tata kota yang baik harus bisa memberikan keadilan bagi semua warga, terutama dalam pemanfaatan ruang. “Meski itu kawasan privat, mereka harus menerima terhubungnya jalan umum dan bisa dilewati warga. Tidak boleh eksklusif,” ucapnya.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, mengatakan perselisihan antara warga Kapuk Muara dan pengembang kawasan elite PIK 1 terlambat ditangani. Menurut dia, konflik dan kecemburuan sosial bisa dicegah lebih awal bila pemerintah dan pengembang melibatkan partisipasi warga.

Alif menyebutkan tak jarang privatisasi kawasan setali tiga uang dengan praktik pelanggaran hak asasi manusia. Selain terjadi di PIK 1, menurut dia, masalah serupa sedang dan akan terjadi di proyek pengembangan PIK 2 di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Kedua kawasan itu milik Agung Sedayu Group yang berkolaborasi dengan Salim Group. “Di banyak lokasi berdirinya kawasan perumahan elite, warga setempat kerap tidak diajak berdialog. Dalam hal ini, seharusnya negara hadir untuk membuka ruang dialog tersebut sebagai langkah antisipasi mencegah konflik karena pembangunan,” tuturnya.

Alif pun menilai penutupan akses jalan merupakan pelanggaran HAM oleh pengembang perumahan elite. Namun, kata dia, negara juga terlibat karena membiarkan pelanggaran terjadi berlarut-larut.

Sebagai pengambil kebijakan, ia melanjutkan, pemerintah seharusnya aktif mendorong korporasi memenuhi standar pembangunan yang ramah HAM ketika memulai suatu proyek. “Kasus PIK merupakan contoh bagaimana negara terlambat hadir untuk mengintervensi ketika ada proyek yang mengganggu lingkungan dan berdampak secara sosial,” katanya.

Meski kehadiran negara terhitung telat, Alif mendorong pemerintah memastikan masalah penghalangan akses jalan warga Kapuk Muara segera selesai. Selain berpotensi memperuncing konflik horizontal, pembiaran tersebut bertolak belakang dengan regulasi tentang pemenuhan HAM di sektor bisnis.

Alif menjelaskan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategis Nasional Bisnis dan HAM. Perpres tersebut diterbitkan karena korporasi kerap mengabaikan perlindungan HAM di lokasi bisnis. “Perpres ini mewajibkan pemerintah menjamin perlindungan HAM dalam kegiatan usaha,” ujarnya.

Meski demikian, Alif menilai pengawasan dan penerapan aturan itu dilakukan setengah hati. Hal itu tergambar dari banyaknya jumlah aduan terhadap korporasi karena diduga melanggar HAM. Sepanjang 2024, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat terdapat 321 aduan dugaan pelanggaran HAM oleh korporasi.

Korporasi menempati posisi ketiga paling banyak diadukan setelah kepolisian dan pemerintah daerah. Sebagian besar aduan terhadap korporasi itu menyangkut pelanggaran hak atas kesejahteraan. “Kecenderungan tersebut memperlihatkan bahwa pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan aktor negara. Ada pergeseran sampai kepada aktor non-negara,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini

  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo

Lihat Benefit Lainnya

Kategori:

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *